Makalah Fiqih Muamalah
GAJI PNS DALAM PERSPEKTIF HUKUM
EKONOMI ISLAM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Disusun Oleh :
Abdul Masykur 1021040066
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
pada zaman
sekarang, dimana mayoritas manusia
begitu ambisi mengejar dunia dan acuh
terhadap hukum-hukum agama
sehingga tidak memperdulikan lagi apakah pekerjaan yang dia geluti selama ini
diridhai oleh Allah ataukah tidak. Kita memohon kepada Allah bimbingan dan
petunjuk untuk menjawab masalah penting ini dengan jawaban yang diridhaiNya dan
memberikan rizki yang halal kepada kita serta menjauhkan kita semua dari rizki
yang haram
Syari’at
Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dan memberikan kebebasan kepada
kita dalam memilih pekerjaan apa saja selagi pekerjaan tersebut halal.
Demikian
ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah wa Khowarimuha
205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ
النَّبِيَّ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
Dari Rifa’ah
bin Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?
Beliau menjawab: “Pekerjaan seorang dengan tangannya sendiri dan setiap
perdagangan yang baik”. (Shahih li ghairihi. Riwayat Al-Bazzar sebagaimana
dalam Kasyful Astar 2/83/1257)
B.
Rumusan Masalah
1. Apa hukum bekerja sebagai
pegawai negeri ?
2. Bagaimana hukum gaji
peagawai negeri dalam persfektip hukum islam ?
3. Apakah bekerja dalam
pemerintahan termasuk loyalitas ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum
Bekerja Sebagai Pegawai Negeri
Sebelum kita
memasuki inti permasalahan, ada baiknya kita memahami beberapa point penting
berikut:
- Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk
bekerja dan memberikan kebebasan kepada kita dalam memilih pekerjaan apa
saja selagi pekerjaan tersebut halal.
Demikian
ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah wa Khowarimuha
205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
عَنْ
رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ سُئِلَ : أَيُّ
الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ : عَمَلُ
الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
Dari Rifa’ah
bin Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?
Beliau menjawab: “Pekerjaan seorang dengan tangannya sendiri dan setiap
perdagangan yang baik”. (Shahih li ghairihi. Riwayat Al-Bazzar sebagaimana
dalam Kasyful Astar 2/83/1257)
عَنِ
الْمِقْدَامِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَا أَكَلَ
أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ
يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Miqdam
dari Nabi bahwa beliau bersabda: Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih
baik daripada makanan dari hasil tangannya sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud
makan dari hasil pekerjaannya sendiri”. (HR. Bukhari 2076)
- Dan juga berdasarkan kaidah berharga “Asal
dalam muamalat adalah boleh dan halal”.
Oleh
karenanya, apabila kita membaca sirah para salaf, niscaya akan kita dapati
bahwa mereka berbeda-beda pekerjaannya, ada yang menjadi pedagang, petani,
tukang kayu, tukang besi, tukang sepatu, penjahit baju, pembuat roti,
pengembala, buruh dan seabrek pekerjaan lainnya.
- Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan
menjadi dua macam:
- Pekerjaan haram,
seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr, pekerja di bank
riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan yang
dilarang oleh syari’at Islam.
- Pekerjaan mubah,
contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama meneyebutkan bahwa
“Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri”. (Al-Hawi Al-Kabir
19/180, Al-Mardawi).
Syaikh Masyhur bin Hasan
menambahkan: “Dan diantara pokok pekerjaan pada zaman kita sekarang -selain
tiga di atas- adalah bekerja sebagai “pegawai” dengan aneka macamnya. Hanya
saja terkadang sebagiannya bercampur dengan hal-hal yang haram atau makruh
tergantung keadaan jenis pekerjaan itu sendiri. Para pekerjanya secara umum
banyak mengeluh dari kurangnya barakah. Di samping itu, pekerjaan ini
juga menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas pegawai, diantaranya:
- Kurangnya tawakkal kepada Allah dalam rezeki
- Banyaknya korupsi dan suap
- Malas dalam bekerja dan kurang perhatian
- Sangat ambisi dengan gajian akhir bulan
- Banyaknya sifat nifaq di depan atasan”. (Lihat
Al-Muru’ah wa Khowarimuha hal. 193-206).
Bekerja sebagai pegawai negeri
-sebagaimana pekerjaan secara umum- diperinci menjadi dua:
- Apabila pekerjaan tersebut tidak ada kaitannya
dengan perkara-perkara haram, maka hukumnya boleh, bahkan bisa jadi dianjurkan.
- Apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan
perkara-perkara haram seperti pajak, pariwisata haram, bank ribawi dan
sejenisnya, maka hukum kerjanya juga haram, karena itu termasuk
tolong-menolong dalam kejelekan yang jelas diharamkan dalam Islam.
وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan tolong menolonglah dalam
kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan
bertaqawalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya . (QS.
Al-Maidah: 2)
عَنْ جَابِرٍ
قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا
وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir berkata: Rasulullah
melaknat pemakan riba, pemberinya, sekretarisnya dan dua saksinya. Dan beliau
bersabda: Semuanya sama. (HR. Muslim: 1598)
B. Hukum Gaji Dari Pemerintah
Gaji pegawai negeri tergantung
kepada pekerjaan itu sendiri:
1. Apabila dari pekerjaan yang
haram, maka gajinya juga haram. Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ
إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila
mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula hasil (upahnya)”. (HR. Ahmad
1/247, 293 dan Abu Dawud 3488 dan dishahihkan Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad
5/661)
عَنْ أَبِيْ
مَسْعُوْدِ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ
وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari
bahwasanya Rasulullah melarang dari uang hasil jual anjing, mahar (upah)
pelacur dan upah dukun. (HR. Bukhari 2237 dan Muslim 3985)
2. Apabila gajinya dari pekerjaan
yang halal, maka gajinya juga halal, sekalipun sumber dana pemerintah yang
digunakan sebagai gaji tersebut bercampur antara halal dengan haram, selagi dia
tidak mengetahui bahwa uang gaji yang dia terima jelas-jelas haram.
Lebih jelasnya, masalah ini dibangun
di atas beberapa kaidah:
- Asal segala sesuatu adalah halal
Kaidah agung
ini berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali dari Al-Qur’an dan sunnah.
Sumber dana pemerintah yang bercampur antara halal, haram dan syubhat, selagi
tidak diketahui secara pasti bahwa uang yang dia terima adalah uang haram maka
termasuk dalam kaidah ini. Patokan masalah ini tergantung pada keyakinan hati,
bukan pada kenyataan perkara, artinya jika dia mengambil uang gaji tersebut
yang kenyataannya adalah tidak halal tetapi dia tidak mengetahuinya maka
hukumnya boleh.
Para ulama
ahli fiqih menyebutkan bahwa harta yang di tangan para pencuri, atau titipan
dan pergadaian yang tidak diketahui pemiliknya apabila tidak mungkin untuk
dikembalikan kepada pemiliknya maka wajib dishodaqohkan atau diberikan ke
baitul mal, dan harta tersebut bagi orang yang diberi shodaqoh adalah halal,
padahal telah dimaklumi bersama bahwa harta tersebut adalah jelas-jelas milik
orang lain yang tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya. Jika harta tersebut
saja halal, maka harta yang tidak diketahui keadaannya dan tidak dipastikan
kejelasannya tentu saja lebih jelas kehalalannya.
- Agama Islam dibangun di atas kemaslahatan dan
membendung kerusakan
Dana
pemerintah tersebut pasti diberikan, mungkin diberikan kepada orang yang tidak
berhak menerimanya, atau kepada orang yang berhak menerimanya, dan tentu saja
yang kedua ini lebih berhak menerimanya. Seandainya ahli agama yang berhak
menerimanya tidak mau menerima uang dari dana pemerintah tersebut lalu diambil
oleh orang yang tidak berhak menerimanya, maka akan terjadi kerusakan yang
banyak sekali dan akan terhambat kemaslahatan yang banyak, padahal syari’at
Islam dibangun di atas kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan.(Lihat
Al-Ajwibah As-Sa’diyyah ‘anil Masaail Al-Kuwaitiyyah hal. 163-164 oleh Syaikh
Abdur Rahman As-Sa’di, tahqiq Dr. Walid bin Abdillah).
- Rasulullah menerima hadiah dan memenuhi undangan
makanan dari Yahudi, padahal kita tahu semua bahwa Yahudi memakan uang
dengan bathil dari riba dan lain sebagainya. Lantas
bagaimana kiranya hukum menerimanya dari seorang muslim?! Jelas lebih
halal.
C. Nilai-nilai Integritas
Baru-baru ini, Kementerian Keuangan
telah meluncurkan 5 nilai Kementerian Keuangan, yang terdiri dari Integritas,
Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan dan Kesempurnaan. Satu dari 5 nilai yang
hendak saya soroti adalah tentang Integritas, karena nilai ini menurut
saya merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh semua pegawai
baik itu pegawai swasta utamanya pegawai pemerintah sebagai abdi negara
dan abdi masyarakat.
Pengertian integritas mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a. Bersikap
jujur, tulus dan dapat dipercaya
b. Bertindak
transparan dan konsisten
c. Menjaga
martabat dan tidak melakukan hal-hal yang tercela
d. Bertanggung
jawab atas hasil kerja
D. Apakah
Bekerja Di Pemerintahan Termasuk Wala’ (loyalitas) Kepada Taghut?
Ada beberapa point penting yang
harus kita fahami dalam masalah ini:
- Masalah berhukum dengan selain Allah termasuk
masalah basar yang menimpa para pemerintah pada zaman kita sekarang, maka
hendaknya kita tidak tergesa-gesa dalam menghukumi mereka dengan hukum
yang tidak berhak bagi mereka sehingga masalahnya benar-benar jelas bagi
kita, karena ini sangat berbahaya sekali. Kita memohon kepada Allah agar
memperbaiki para penguasa kaum muslimin. (Syarh Tsalatsah Utsul hal. 159
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin).
- Menvonis para pemerintah yang tidak berhukum
dengan selain Allah dengan taghut berarti itu mengkafirkan mereka, ini
jelas keliru karena madzhab salaf memerinci masalah ini; apabila dia
berhukum dengan selain hukum Allah dari undang-undang manusia dan
hukum-hukum jahiliyyah, dengan mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum
Allah, atau berpendapat bahwa hukum Allah tidak relevan pada zaman
sekarang, atau berpendapat sama saja berhukum dengan hukum Allah
atau selainnya maka dia kafir, tetapi apabila dia berhukum dengan mengakui
wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan tidak mengingkarinya, tetapi
karena ambisi terhadap dunia, maka dia adalah fasiq. (Lihat kembali
makalah “Hukum Islam Vs Hukum Jahiliyyah” dalam Al Furqon edisi 11/Th.III,
“Fitnah Takfir” edisi 10/Th. III, “Berhukum Dengan Hukum Allah” edisi
8/Th. IV).
- Anggaplah kalau mereka memang melakukan kekufuran
nyata, bukankah menvonisnya dengan kekafiran memiliki kaidah-kaidah yang
tidak ringan Harus terpenuhi syarat dan hilang segala penghalangnya
Sudahkah kita menegakkan hujjah kepada mereka Bukankah
mayoritas mereka melakukannya karena kebodohan dan taklid buta.
- Anggaplah juga bahwa pemerintah adalah
taghut dan kafir, tetap tidak bisa kita pukul rata bahwa setiap para
pegawai pemerintahnya adalah kafir. Sungguh ini adalah pemikiran
menyimpang Khawarij yang sesat, karena haramnya wala’ (loyalitas) kepada
orang-orang kafir bukan berarti haramnya muamalah dengan mereka dalam
hal-hal yang mubah (boleh). Itu kalau kita anggap bahwa pemerintah kafir,
lantas bagaimana kiranya kalau pemerintah masih mendirikan shalat?! (Lihat
tulisan “Pembaikotan Produk Orang Kafir” edisi 12/Th. IV)
Akhirnya, kami mengatakan seperti
apa yang dikatakan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -semoga Allah
menjaganya-:
“Saya tidak percaya kalau ada
seorang muslim yang wala’ (loyal) terhadap orang-orang kafir, tetapi kalian
mengartikan wala’ (loyal) bukan pada tempatnya. Kalaulah memang ada yang loyal
kepada orang kafir, maka dia adalah orang yang jahil atau non muslim. Adapun
orang muslim maka dia tidak mungkin loyal kepada orang kafir, tetapi ada
beberapa perkara yang kalian menganggapnya loyal padahal tidak, seperti jual
beli dengan orang kafir atau memberi hadiah orang kafir…”. (Al-Fatawa
Syar’iyyah fil Qodhoya ‘Ashriyyah hal. 95, kumpulan Muhammad Fahd
Al-Hushayyin).
E. Bekerja di tempat yang ikhtilath (campur baur
antara lawan jenis) tidak keluar dari dua keadaan:
- Pertama: Apabila
di sana ada tempat, ruangan atau kantor khusus bagi kaum laki-laki
sendiri, dan bagi kaum wanita sendiri, maka hukumnya boleh.
- Kedua:
Apabila dalam satu tempat, ruangan atau kantor bercampur antara laki-laki
dan perempuan, maka tidak boleh, sebab hal itu adalah pintu fitnah dan
kerusakan.
Nabi telah memperingatkan kepada
umatnya dari fitnah kaum wanita dalam sabdanya
مَا تَرَكْتُ
بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah saya tinggalkan setelahku
fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum pria daripada fitnah wanita”. (HR.
Bukhari 5096 Muslim 6880)
Sampai-sampai dalam tempat ibadah
sekalipun, Nabi menganjurkan adanya jarak jauh antara laki-laki dan
perempuan, sebagaimana sabdanya:
خَيْرُ
صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ
آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (barisan shalat)
kaum wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang yang
paling depan”. (HR. Muslim 440)
Nabi mengatakan sejelak-jelaknya
adalah barisan yang terdepan disebabkan lebih dekat dengan barisan kaum lelaki.
Demikian pula sebaik-baiknya adalah yang belakang dikarenakan lebih jauh dari
kaum lelaki.Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa syari’at Islam
sangat menekankan adanya jarak antara kaum laki-laki dengan wanita. Dan
barangsiapa memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi pada umat, niscaya
akan jelas baginya bahwa dalam ikhtilath antara lawan jenis merupakan penitu
kerusakan dan fitnah hingga sekarang”. (Lihat Fatawa Nur Ala Darb hal. 82-83
oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
BAB III
Kesimpulan
Gaji pegawai negeri tergantung
kepada pekerjaan itu sendiri:
Apabila dari pekerjaan yang haram,
maka gajinya juga haram. Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ
إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila
mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula hasil (upahnya)”. (HR. Ahmad
1/247, 293 dan Abu Dawud 3488 dan dishahihkan Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad
5/661)
عَنْ أَبِيْ
مَسْعُوْدِ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ
وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari
bahwasanya Rasulullah melarang dari uang hasil jual anjing, mahar (upah)
pelacur dan upah dukun. (HR. Bukhari 2237 dan Muslim 3985)
Dengan demikian kita sebagai umat
muslim harus mengetahui asal-usul uang / gaji yang kita terima.
DAFTAR PUSTAKA
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/07/hukum-pemberian-hadiah-bagi-pegawai-pemerintah-dalam-pandangan-islam/
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/07/hukum-pemberian-hadiah-bagi-pegawai-pemerintah-dalam-pandangan-islam/